04 November 2020

Mengenal Kebijakan Uang Ketat


Otoritas moneter di suatu negara dipegang oleh Bank Sentral yang berwenang mengeluarkan instrumen kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian tingkat inflasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu kebijakan moneter Bank Sentral untuk mengendalikan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah adalah melalui kebijakan uang ketat atau Tight Money Policy.

Kebijakan uang ketat adalah instrumen moneter yang diambil bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan cara mengetatkan likuiditas melalui kebijakan suku bunga tinggi. Biasanya Bank Sentral menetapkan suku bunga BI 7-Days Repo Rate sebagai acuan perbankan nasional dalam menetapkan suku bunga simpanan dan suku bunga kredit.

Alhasil instrumen moneter tersebut cukup efektif mengendalikan tingkat inflasi dan nilai tukar Rupiah. Masyarakat dan pelaku usaha akan tertarik menyimpan dana ke perbankan daripada diinvestasikan ke produk lain mengingat ancaman inflasi yang tinggi dan ketidakpastian nilai tukar Rupiah.

Kebijakan uang ketat merupakan kebalikan dari kebijakan uang longgar di mana uang yang beredar di masyarakat dikurangi sehingga dapat menekan laju inflasi. Namun, kebijakan uang ketat mempunyai beberapa kelemahan antara lain sektor riil menjadi lesu karena tingginya suku bunga kredit perbankan, potensi penerimaan negara dari sektor perpajakan terancam mengalami penurunan, perdagangan di pasar modal menjadi kurang bergairah, meningkatnya angka pengangguran, dan membengkaknya anggaran belanja sosial pemerintah.

Tingginya suku bunga kredit biasanya membuat para pelaku usaha menunda mencari pinjaman di perbankan. Para pelaku usaha lebih memilih mendepositokan aset kas perusahaan ketimbang diputar untuk ekspansi usaha. Karena dengan pendapatan bunga deposito sudah bisa menutup ongkos operasional perusahaan, dan tanpa melakukan ekspansi usaha pun perusahaan sudah memperoleh keuntungan meski tidak banyak.

Iklim investasi yang lesu akibat tingginya suku bunga perbankan membuat potensi penerimaan negara dari sektor perpajakan mengalami penurunan. Beberapa sumber penerimaan negara dari pajak yang berpotensi menurun seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak ekspor impor, dan lain-lain.

Aktivitas perdagangan di pasar modal menjadi kurang bergairah karena masyarakat pemodal lebih memilih menyimpan uang mereka di deposito perbankan daripada di bursa efek dan bursa berjangka. Hal tersebut juga menghambat perusahaan yang sedang mencari pendanaan dari pasar modal.

Lesunya iklim dunia usaha akan mendorong perusahaan melakukan efisiensi. Salah satu bentuk efisiensi yang dilakukan perusahaan adalah dengan mengurangi jumlah karyawan atau pemutusan hubungan kerja sehingga mengakibatkan jumlah pengangguran akan meningkat.

Bila pengangguran meningkat maka akan ada efek lanjutannya yaitu pemerintah akan menanggung beban berupa penyiapan dana dalam jumlah besar untuk kebijakan jaring pengaman sosial. Bentuknya bisa berupa bantuan sosial, bantuan langsung tunai, dan lain-lain. Mau tidak mau pemerintah pun berjibaku untuk mencari pendanaan untuk jaring pengaman sosial tersebut, misalnya dengan menambah utang.

Untuk mengantisipasi beberapa kelemahan tersebut, antara Otoritas Moneter (Bank Sentral) dan Otoritas Fiskal (Kementerian Keuangan) harus mampu bersinergi melalui instrumen bauran kebijakan yang efektif. Potensi konflik kebijakan antara kedua otoritas tersebut akan selalu ada, namun jauh lebih penting dan utama daripada itu adalah kepentingan stabilitas sistem keuangan nasional dan kesejahteraan rakyat yang menjadi dua hal yang tak terpisahkan.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon