27 Mei 2018

Pemanfaatan Fintech Menuju Pembangunan Indonesia Sentris



Financial Technology atau biasa disingkat dengan Fintech merupakan isu fenomenal yang sangat masif saat ini, di mana sektor keuangan telah mengadopsi teknologi dan sebaliknya sektor teknologi merambah dunia keuangan dalam rangka memberi kemudahan dan kecepatan dalam memenuhi kebutuhan konsumen dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bank Indonesia mengklasifikasikan Fintech menjadi empat kelompok yaitu pertama, Crowdfunding dan Peer to Peer (P2P) Lending. Kedua, Market Agregator. Ketiga, Risk and Investment Management. Dan Keempat, Payment, Settlement, and Clearing. 

Beragam layanan keuangan online disuguhkan para pelaku usaha Fintech kepada masyarakat Indonesia antara lain transaksi belanja online, layanan pinjaman online, layanan investasi online, sistem pembayaran online, sistem akuntansi online, sistem perpajakan online, peer to peer (P2P) lending, dan crowdfunding. Penting sekali pemanfaatan Fintech untuk mendorong gerakan cinta Rupiah menuju pembangunan Indonesia sentris. 

Setiap transaksi baik online maupun offline yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan mata uang Rupiah (sesuai dengan pasal 21 Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang). Penerapan Fintech oleh para pelaku e-commerce tanah air antara lain berupa situs marketplace belanja online berbasis web dan android (contoh Tokopedia, Bukalapak, dan Blibli), situs penyedia pinjaman online berbasis web dan android (contoh Pinjam, DoctorRupiah, dan UangTeman), aplikasi Peer to Peer (P2P) Lending berbasis web (contoh Investree, Modalku, dan KoinWorks), sistem pembayaran online yang masuk kategori Payment, Settlement and Clearing berbasis web dan android (contoh DOKU dan VeriTrans), aplikasi Crowdfunding berbasis web (contoh Akseleran dan DanaDidik), situs market agregator yaitu situs pembanding layanan keuangan online berbasis web (contoh CekAja, Cermati, dan AturDuit), dan aplikasi Fintech kategori Risk and Investment Management berbasis web (contoh NgaturDuit dan Finansialku). 

Untuk mewadahi dan memfasilitasi kegiatan Fintech di tanah air, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah bekerja sama untuk membuat regulasi dan Fintech Office. Disamping itu, juga telah berdiri Asosiasi Fintech Indonesia untuk mewadahi para anggota sebagai ajang tukar informasi dan gagasan guna mendorong penggunaan mata uang Rupiah dalam setiap transaksi bisnisnya. Data dari Bank Indonesia memperlihatkan jumlah transaksi dari bisnis Fintech mencapai sekitar USD 15 miliar pada tahun 2016, dan jumlah tersebut akan terus mengalami peningkatan pada tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya. Kerja sama dan koordinasi yang luar biasa dari BI, OJK, dan Asosiasi Fintech Indonesia akan dapat menghasilkan efek domino yang besar dan positif bagi pertumbuhan gerakan cinta Rupiah di tanah air. 

Pemanfaatan Financial Technology sangat signifikan mendorong gerakan cinta Rupiah dan Gerakan Transaksi Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia. Seluruh transaksi yang terjadi pada bisnis Fintech di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib menggunakan mata uang Rupiah. Bentuk fisik mata uang Rupiah berupa uang kertas dan uang logam yang tersedia dalam berbagai pecahan nominal beserta instrumen derivatifnya tidak menghambat upaya Bank Indonesia bersama pemerintah untuk mewujudkan masyarakat Non Tunai (Cash Less Society). 

Pengertian Non Tunai di sini adalah segala transaksi dilakukan secara elektronik dan online, atau dengan kata lain uang yang tidak berwujud fisik. Contoh uang elektronik berbasis chip antara lain e-Money Bank Mandiri, Flazz Bank BCA, Brizzi Bank BRI, Link Bank BTN, dan Tap Cash Bank BNI. Kemudian ada uang elektronik berbasis server antara lain ecash Bank Mandiri, Delima Telkom, dompetku Indosat, t-cash Telkomsel, DOKU Nusa Inti Arta, BBM Money Permata, dan Tunai XL. 

Sebagian besar transaksi bisnis dan perdagangan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia masih dilakukan secara tunai yaitu sekitar 99% dari total transaksi menurut data yang dilansir Bank Indonesia. Tingkat transaksi non tunai berbasis elektronik atau online oleh masyarakat Indonesia masih sangat rendah bila dibanding dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Menurut data yang dilansir Bank Indonesia, tingkat transaksi non tunai di Indonesia masih di angka sekitar 1%. Hal itu sangat wajar mengingat tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Harus ada upaya sinergitas antara pemerintah, Bank Indonesia, Lembaga Fintech, Perbankan, dan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia agar makin cinta Rupiah yang diwujudkan dalam transaksi menggunakan mata uang Rupiah. 

Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 267 juta jiwa pada tahun 2019 (data BPS) menunjukan bahwa Indonesia menjadi pasar e-commerce terbesar di ASEAN. Dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai 130 juta jiwa atau 53% total penduduk Indonesia akan menciptakan peluang besar bagi tumbuhnya transaksi belanja online non tunai berbasis elektronik. Pertumbuhan jumlah pengguna internet yang cepat di Indonesia tak lepas dari kehadiran ponsel cerdas android yang mana sektiar 70% pengguna mengakses internet lewat android smartphone. 

Sejalan dengan itu, Pemerintah Indonesia sudah menargetkan jumlah transaksi ecommerce pada tahun 2020 dapat mencapai USD 130 miliar. Tentu harus ada upaya ekstra dari para pemangku kepentingan untuk mendorong realisasi transaksi non tunai agar mampu menjawab tantangan dan peluang yang ada. Namun begitu, kecintaan rakyat Indonesia terhadap Rupiah akan terus berjalan selaras tanpa memandang apakah instrumen pembayaran transaksi dilakukan secara tunai atau non tunai. 

Harus ada kesepakatan dari para stakeholders tanah air seperti Pemerintah, Bank Indonesia, Perusahaan Fintech, Lembaga Perbankan, BUMN, BUMD, pelaku UMKM, dan rakyat Indonesia untuk menciptakan sinergitas agar semakin memperkokoh kecintaan terhadap Rupiah menuju Pembangunan Indonesia Sentris. Hal tersebut bisa dilakukan mulai dari transaksi pada perusahaan baik milik swasta maupun pemerintah, transaksi pada penyerapan anggaran pemerintah daerah dan pemerintah pusat, belanja barang dan modal seluruh perusahaan milik negara, pengeluaran pemerintah pusat dan daerah, transaksi para pelaku bisnis baik offline maupun online (ecommerce) di tanah air, dan transaksi pengeluaran sehari-hari masyarakat Indonesia di pasar, stasiun, pom bensin, sekolah, dan pusat perbelanjaan yang mana kesemuanya itu dilakukan menggunakan mata uang Rupiah, maka akan menciptakan stabilitas sistem keuangan nasional dan meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Di samping itu, upaya untuk meningkatkan transaksi non tunai juga harus dilakukan terus-menerus di era digital saat ini. 

Semakin cinta Rupiah, semakin menjauhkan kita dari perbuatan korupsi, pembuatan uang palsu, narkoba, terorisme, perdagangan manusia, dan ilegal logging. Rupiah yang identik dengan ideologi Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika harus terpatri dalam jiwa seluruh rakyat Indonesia sebagai jati diri dan kedaulatan bangsa. Dengan demikian, cita-cita pembangunan Indonesia sentris yang menitikberatkan pada pemerataan yang berkeadilan sosial di seluruh wilayah Indonesia, dari Aceh sampai Papua meliputi Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan dapat benar-benar terwujud.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon